Minggu, 03 Oktober 2010

Manusia dan kebudayaan

Gandrung ”panggilan jiwa yang menari”

Gandrung merupakan salah satu kesenian yang berasal dari Banyuwangi. Kata Gandrung diartikan sebagai tempat terpesonanaya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai dewi padi. Tarian Gandrung dikenal sebagai tarian pergaulan. Biasa dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian gandrung masih satu genre dengan tarian Tayub dari Jateng, Lengger dari wilayah Banyumas dan Ketuk Tilu di Jabar. Gandrung dipentaskan juga pada acara seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuhbelasan dan acara resmi lain baik di Banyuwangi maupun di wilayah lain. Tarian ini dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki pemaju yang dikenal sebagai paju . Musik pengiring gandrung terdiri atas : satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle, satu atau duah buah biola , duah buah kendang dan sepasang kethuk .
Pada zaman dahulu tarian gandrung dibawakan oleh lelaki yang didandani . Seiring berjalannya waktu, tarian gandrung kini dibawakan oleh wanita. Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi . Semi adalah seorang anak yatim berusia 10 tahun pada tahun 1895. Ia tinggal bersama budenya. Saat itu dia sakit dan cukup parah. Berbagai cara telah diupayakan hingga ke dukun. Namun, Semi tak kunjung sembuh , sehingga bude Semi (Mbah Midhah) bernazar “ kadhung sira waras, sun dhadhekaken seblang, kadhung sing yo sing ” (bila kamu sembuh , saya akan jadikan kamu seblang ). Akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang . Peristiwa ini sekaligus merupakan babak baru bagi seorang gandrung dengan wanita. Semi pun begitu tekun berlatih Gandrung hingga beranjak dewasa. Tiap ada acara atau hajatan di kampung, gandrung merupakan salah satu acara yang ditunggu- tunggu. Biasanya dimulai dari pukul 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Ada 3 tahap dalam pementasan gandrung yakni :
•Jejer
Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
•Maju
Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.
•Seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

Penari gandrung tidak terhindar dari prasangka negatif masyarakat. Banyak yang menilai penari gandrung sebagai penari yang berprofesi amat negatif, terhina dan selalu dikucilkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Semi dalam kehidupannya selama menjadi penari gandrung ia sering dikucilkan dan dicela oleh masyarakat sekitarnya karena dianggap rendah. Begitu pun dengan kehidupan rumah tangganya. Tidak berjalan mulus .Beberapa kali perceraian terjadi pada dirinya. Hingga keputusan akhirnya untuk tidak membina kehidupan rumah tangga lagi dengan kaum adam . Namun Semi tetap melanjutkan profesinya untuk tetap menyambung hidupnya. Walaupun ia menyadari dirinya tidak muda lagi. Toh, gandrung sudah mendarah daging dalam dirinya.
Selain karena opini masyarakat yang negatif tentang penari , masuknya kebudayaan dari negara luar turut menyebabkan menurunnya minat para pemudi belajar gandrung. Para remaja lebih tergiur dengan tarian eksporan luar, seperti breakdance, salsa, waltz dsb.
Pemerintah ternyata sadar untuk meneruskan kebudayaan gandrung. Dimana coba dikembangkan dengan mendirikan sekolah tari dan sanggar- sanggar. Diharapkan adanya kesadaran masyarakat untuk turut menjaga dengan ikut mengambil bagian dalam kesenian gandrung tersebut. Kebudayaan akan lahir dengan tumbuhnya masyarakat . Jika tidak ada manusia tidak ada kebudayaan. Ada keterkaitan satu dengan yang lainnya.