Sabtu, 08 Januari 2011

Kesenjangan dalam Hal Pendidikan

Kesenjangan Antara Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan
Kesenjangan dalam Hal Pendidikan
Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari 1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa.
Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks. Ujung-ujungnya, persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi. Kesenjangan yang dibicarakan di sini adalah kesenjangan yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Pendidikan sendri tak bebas dari ketimpangan sosial.
Menurut sosiolog Randall Collins dalam The Credentiai Society: An Historical Sosiology of Education and Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri.
Di Indonesia hal ini didukung dengan adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan kalangan keluarga tak mampu.
Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan di universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat yang tidak mampu harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa sekolahnya. Di kota tidak jarang sekolah- sekolah yang dinilai kurang bermutu cenderung akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan . Di samping itu lingkungan sekolah yang tidak berkualitas cenderung memunculkan kekerasan . Anak-anak dari keluarga miskin yang berada di sekolah-sekolah yang " tidak bermutu " sadar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan anak-anak dari keluarga mampu yang mengenyam pendidikan pada sekolah-sekolah yang bermutu tinggi . Latar belakang keluarga yang didominasi oleh kemiskinan ini menjadikan mereka yang semula menganggap sekolah sebagai surga, ternyata mengalami kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka sering menemui kenyataan betapa sulit untuk menjadikan guru sebagai panutan dan sekaligus pengayom. Interaksi di sekolah justru semakin menjadikan mereka frustrasi. Sekolah tidak memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Keadaan bertambah buruk manakala banyak guru dapat dikatakan tidak mampu lagi menciptakan hubungan yang bermakna dengan para siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan beban kurikulum yang terlalu sarat di samping kondisi sosial ekonomi menyebabkan guru tidak dapat berkonsentrasi dan melakukan refleksi dalam melaksanakan pengabdian profesionalnya. Tanpa ada kontak yang bermakna dan berkesinambungan antara guru dan siswa, guru tidak akan mampu mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku masa kini demi keberhasilan di masa depan.
Keadaan ini yang membawa perbedaan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan dalam hal pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar